Islam dan Lingkungan: Refleksi Teologis, Peran Manusia Sebagai Khalifah dalam Ekosistem
Seperempat dari abad ini kita sudah sangat akrab membahas tentang
masalah lingkungan hidup, berbicara tentang efek ruma kaca, sampah rumah
tangga, limbah industri, pemanasan global hingga deforesrasi yang terjadi
hampir di berbagai seluruh penjuru bumi. Lingkungan hidup adalah segala sesuatu
yang ada di sekitar manusia dan berhubungan timbal balik, sebuah komponen
sistem yang sangat kompleks dan merupakan kesatuan ruang antara makhluk hidup
dan abiotik lainnya. Tentu hal ini menjadi tantangan besar dan menjadi
pekerjaan rumah yang sangat panjang bagi kita sebagai manusia itu sendiri. Kita
sulit berlaku adil terhadap kehidupan terutama dengan lingkungan alam kita
sendiri. Secara harfiah manusia sudah ada dan terbentuk dengan alaminya menjadi
seorang Antroposentrisme yaitu paham yang memandang manusia sebagai pusat alam
semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai intrinsik tersebut. Manusia
menganggap seluruh makhluk hidup lainnya hanya sebagai instrumental, dengan
kata lain manusia memandang makhluk hidup lainnya karena fungsi bukan karena
perannya dalam lingkungan yang kemampuannya dapat melayani manusia. Antroposentrisme
diduga kuat berakar pada ajaran agama-agama Monotheis (paham yang
meyakini bahwa hanya ada satu tuhan) termasuk Islam sendiri yang dituduh
mengembangkan ajaran tersebut. Akar permasalahan krisis lingkungan dan alam di
senyalir berawal dari filsafat Antroposentrisme dalam jiwa-jiwa manusia di bumi
ini. Dari Arnold Joseph Toynbee sebagai mana dikutip oleh Martin Harun dalam
pengantar buku AgamaRamahLingkungan, menegaskan bahwa agama-agama
monetheis telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam yang lahi. Sehingga tak
ada yang mampu menahan ketamakan manusia.
Menelusuri Jejak
Antroposentrisme dari filsafat barat ke etika islam
Berangkat dari tuduhan-tuduhan di atas, maka timbul beberapa
pertanyaan yang cukup layak untuk dikaji dan dijawab dalam tulisan ini. Apakah
benar islam mengajarkan antroposentrisme? Bagaimana konsep ekologi yang di
tawarkan dalam islam? Dan bagaimana pandangan islam tentang hubungan manusia
dengan alam dan lingkungan hidup? Apakah kita sadar dan paham terhadap prinsip ekologi
yang di tawarkan dalam agama Islam? Dalam sejarahnya filsafat Antroposentrisme
berawal dari filsafat pelepasan manusia dari kungkungan tuhan. Pada abad
pertengahan tepatnya, alam pikiran dunia barat dipenuhi dengan pikiran mitologis.
Yakni berdasarkan pada mitologi Yunani. Pada saat itu barat benar-benar
terkungkung di dalam paham keagamaan bahwa seolah-olah tuhan itu membelenggu
manusia. Muncullah pandangan antroposentrisme sebagai pendobrak pandangan
keagamaan mitologi secara revolusioner. Pandangan antroposentrisme atau juga
lazim dikenal dengan humanisme beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada
tuhan, melainkan manusia. Manusialah penguasa realitas, yang menentukan
nasibnya sendiri dan kebenaran. Antroposentrisme sejatinya hadir dengan
datangnya rasionalisme yang tidak lagi percaya bahwa hukum alam bersifat
mutlak. Antroposentrisme menjadi sebuah filosofi terkait dengan manusia yang
berasal dari tradisi pencerahan Eropa. Bisa dikatakan bahwa antroposentrisme,
merupakan anak kandung dari ateisme. Antroposentrisme dapat diklasifikasikan
sebagai tahapan dari musim semi ateisme, yang mana letaknya ini berada pada
satu tahap di bawah ateisme. Kemudian, isme di sini sama-sama menafikan
Tuhan, hal terburuknya ialah ketika antroposentrisme menguat dan menjadi sangat
ekstrem, maka kemungkinan terburuknya, ia akan berubah dan mengarah pada
ateisme. Menurut Resmussen-sebagaimana dikutip oleh mary evelyn dan john A.
Grim bahwa akar dari segala permasalahan lingkungan diduga berawal dari
filsafat antroposentrisme.
Antara Keistimewaan
Manusia dan Tanggung Jawab Ekologis
Terdapat ayat-ayat al-Quran yang di sinyalir mengandung nilai dan
paham antroposentrisme. Pertama adalah konsep manusia sebagai makhluk yang
paling Istimewa terdapat dalam Ayat keempat surah At-Tin berbunyi, "Sungguh,
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Ada
juga terdapat dalam surat al-isra ayat 70 berbunyi: “Dan sesungguhnya telah
kami muliakan anak-anak adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami
beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk lain yang telah kami ciptakan” ayat
serupa terdapat pula pada ayat-ayat lainnya seperti surat Al-Infitar
ayat 7-8, Surat At-tagabun ayat 3, surat Al-Nahl ayat 78, dan Surat
Al-Rum ayat 7. Kedua, ayat-ayat yang menggambarkan manusia sebagai
makhluk berakal terdapat dalam surat Al-Baqarah Ayat 75 yang berbunyi “Maka,
apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka agar percaya kepadamu,
sedangkan segolongan mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahnya
setelah memahaminya, padahal mereka mengetahui (nya)?” dan masih banyak
ayat lainnya yang berbicara bahwa manusia makhluk berakal. Di antaranya
terdapat dalam QS. Al-Anfal :21, QS Al-Hajj: 46, QS. AL-Ra’d
:2, QS. Hud: 123. Dengan demikian, banyak yang beranggapan bahwa makhluk
lainnya lebih rendah dari manusia karena tidak berakal. Ketiga yaitu, manusia
Digambarkan sebagai makhluk paling kuasa atas sumber daya alam dan lingkungan
sebab, alam semesta ini di ciptakan hanya untuk semesta hal tersebut terdapat
pada ayat surat al-Baqarah: 22,29., al-jatsiyah: 13, dan di surat
Luqman:20. Keempat adalah
ayat-ayat tentang kedudukan manusia sebagaimana manifestasi wakil Allah di
bumi. Terdapat dalam surat al-Baqarah:30, surat al-an’nam:165 dan
QS. Shad:26. Keempat dasar keagamaan ini kemudian melebur menjadi stu
dalam bingkai teologi lingkungan yang terkesan antroposentris. Gejala-gejala
tersebut jelas Nampak terlihat Ketika dijumpai dalam kehidupan nyata akan
perilaku masyarakat yang tidak mencerminkan perilaku ekologis. Keempat prinsip
tersebut akan di bedah melalui pendekatan tanasub al-ayat yaitu ilmu
Al-Qur'an yang membahas persesuaian atau hubungan antara satu ayat dengan ayat
lain, baik yang berada di depan atau di belakangnya. Harapannya cara
penafsirannya atomistic (pendekatan atau studi yang berfokus pada
analisis sistem kompleks dengan memperhitungkan komponen-komponen terkecil
penyusunnya, yaitu atom). Dapat dihindari agar ditemukan maqasid (tujuan-tujuan
syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari
keseluruhan hukum-Nya) tentang pesan-pesan ekologis. Terkait keistimewaan
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna konteks dalam ayat-ayat di atas
hanya dipahami sebatas kesempurnaan fisik dan jaminan kesempurnaan manusia
terwujud Ketika dimensi spiritual dan amaliahnya terpenuhi sebagaimana di
jelaskan dalam tafsir al-Qurthubi seorang ulama, ahli hadis dan ahli
tafsir Al-Qur'an. Ia merupakan seorang pemikir dalam Mazhab Maliki yang
menghasilkan sebuah kitab tafsir Al-Qur'an yang dikenal sebagai
Tafsir Al-Qurthubi. Dengan demikian maka dimensi non-fiksi justru lebih
penting. yaitu aspek keimanan (shaleh secara individual) dan aspek amal shalih
(secara sosial). Sebagaimana dinyatakan dalam surat al-nahl: ayat 97. Ketika Ibnu Kasir menafsirkan kalimat
tersebut dan terdapat tiga variable dalam ayat tersebut terkait dengan
kehidupan yang berkualitas yaitu: berbuat baik, religiusitas dan kehidupan yang
berkualitas. Ketiga variable tersebut merupakan mata rantai yang tidak dapat di
pisahkan satu sama lain. Al-Qattan memaknai amal shalih yaitu amal baik
termasuk urusan-urusan kemasyarakatan dan lingkungan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kesempurnaan fisik manusia merujuk pada kesempurnaan amal
shaleh. Dalam hubungan dengan lingkungan alam. Kesempurnaan manusia juga tidak
menjadi variable dominan al-Qur’an. Manusia sejatinya hanya bagian kecil dari
lingkungan alam ini. Keterbatasan kesempurnaan manusia di tegaskan dalam surat al-isra
ayat 37-38, dan surat al-Alaq 6-7. Dua ayat tersebut mengisyaratkan
kepada kita tentang keterbatasan dan kekurangsempurnaan manusia terhadap alam
ini. Dan, terkadang manusia sering kali melapaui batasnya dalam mengelola alam.
al-qhurtubi dalam tafsirannya jelas menyatakan posisi kelemahan manusia di
hadapan alam. Bumi dan gunung adalah bagian dari ekosistem yang tidak boleh
dieksploitasi sesuai kemauan dan kesenangan manusia. Sebab, dieksplorasi sekuat
apapun, manusia tetap tidak akan mampu menaklukkan alam itu sendiri. terkait
dengan ayat-ayat yang mengedepankan keistimewaan akal manusia. Ayat-ayat di
atas juga dituduh sebagai basis antroposentrisme dalam Islam. Benar bahwa akal
adalah anugerah luar biasa yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan akal
manusia diharapkan mampu mengelola alam dan lingkungan dengan baik. Karena
sejatinya penciptaan manusia bermotif pemakmur atau pembangun bumi dan bukan
untuk sebaliknya, merusak bumi ini. Hal ini ditegaskan Allah dalam surat al-Hud
ayat 61. dalam hal ini Ibnu Kasir menafsirkan ayat tersebut dengan pemahaman
dan maknanya bahwa manusia di mandatkan untuk melakukan Pembangunan dan
mengelola bumi. Dalam hal ini, menurut Harun Nasution. Akal manusia adalah
pelengkap wahyu dan panca Indera bagi manusia dalam memahami alam itu sendiri.
lebih dari itu, al-Qur’an sendiri tidak menafikan peran pengamatan dan
penalaran akal dalam memahami alam ini. Namun demikian, dalam banyak variannya
al-Qur’an juga mencela manusia ketika tidak mampu menggunakan akalnya dengan
baik. Penggunaan akal dengan baik dalam konteks pemeliharaan lingkungan dan
alam ini adalah mengetahui yang baik dan buruk dalam mengelola alam ini. Namun
jika akal ini tidak digunakan sebagaimana mestinya maka posisi manusia sama bahkan
lebih rendah (hina) dari makhluk yang bernama binatang. Al-Qur’an juga banyak
menyuruh kerja akal untuk memahami kerusakan lingkungan dan alam. dalam konteks
ini refleksi akal sangat ditekankan agar pembangunan di bumi ini berjalan
secara berkelanjutan.hal tersebut dapat dilihat dalam surat al-Rumi ayat
9 dan surat al-Jasyiah ayat 13. pada kenyataannya manusia meruapakan
makhluk lingkungan. Manusia membutuhkan lingkungan (spesies lain) dan
sebaliknya, lingkungan membutuhkan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sejatinya Islam adalah agama yang sangat peduli dengan persoalan
pemeliharaan dan pelestarian lingkungan.
Manusia sebagai sesama ciptaan Allah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari jaringan besar yang bersifat kompleks dari sistem ekologi
alam. Sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Ra’du ayat 4. ayat ini
ditafsiri oleh Ibnu Katsir dengan ungkapan bahasa yang lebih lugas, ayat
tersebut dapat dipahami dan dikatakan bahwa: “Dalam lingkungan hidup terdapat
ekosistem sebagai penyangga kehidupan”. Dengan demikian jelas manusia sebagai
khalifah bukanlah penguasa bumi, melainkan penerus yang secara fungsional untuk
memelihara dan memakmurkan bumi ini. Lebih lanjut dijelaskan kekhalifahan
berarti manusia menjadi memegang mandat Tuhan untuk menyelenggarakan kehidupan
bertanggung jawab. Hakikat khalifah menurut al-Maudhu ialah manusia
bukan pemilik, apalagi penguasa, segala yang di atas bumi, namun hanya sebagai
wakil dari sang pemilik sejati yaitu Allah. Kelebihan utamanya adalah adanya
kemampuan manusia untuk berfikir atau kepemilikan akal yang sempurna
dibandingkan makhluk lainnya. Kelebihan kedua adalah keberadaan kehendak bebas
pada manusia. Bagaimanapun juga, al-Qur’an telah menegaskan manusia diberi
kebebasan untuk beriman atau kafir, dengan masing-masing pilihan mempunyai
konsekuensi tersendiri. berbeda dengan alam semesta yang secara otomatis
mentaati Allah swt, manusia dapat memilih untuk taat atau ingkar kepada Allah
swt.
Refleksi Teologis atas
Peran Manusia sebagai Wakil Tuhan
Dalam pandangan Ibnu Arabi, dunia manusia dan mikrokosmos adalah
serupa. Ibnu Arabi sering menyebutkan denga istilah dunia kecil (mikrokosmos)
bagi manusia dan dunia besar (makrokosmos) bagi alam semesta. Mikrokosmos
adalah sebuah kesadaran sedangkan makrokosmos hanyalah suatu intstrumen pasif
dalam kuasa Tuhan. Dalam ilustrasi yang sangat indah, manusia bagi alam semesta
ini adalah ibarat ruh bagi jasad manusia. Dalam al-Futtuhat al-Makkiyah,
sebagaimana dikutip Chittick, Ibnu Arabi menjelaskan dengan nada jelas:
“Bedakan dirimu sendiri dari kosmos dan bedakan kosmos dari dirimu. Bedakan
yang lahir dan yang batin, dan yang batin dari yang lahir. Bagi kosmos kalian
adalah ruh kosmos, dan kosmos adalah bentuk lahiriyah kalian. Bentuk ini yang
tidak mempunyai makna apa pun tanpa ruh. Oleh sebab itu, kosmos tidak memiliki
arti tanpa kalian”. Sepenggal kalimat di atas menegaskan bahwa antara manusia
dan alam adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya dilukiskan
ibarat tubuh dan ruh yang saling melengkapi.
Antara Amanah dan
Arogansi
Analisa-analisa di atas akhirnya semakin meneguhkan bahwa
sejatinya atroposentrisme tidak ditemukan apalagi diajarkan dalam Islam. Dalam
ekologi Islam, justru menempatkan manusia secara proporsional. Meskipun manusia
mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain keberadaannya masih menjadi bagian
dari lingkungan dan bukan berada di luar ekosistem. Bahwa lingkungan alam ini
diciptakan manusia bukanlah pandangan keliru. Namun manusia bukanlah pemilik
alam ini. Dengan demikian manusia tidak boleh mengeksploitasi alam dengan
seenaknya sendiri. Islam melarang keras paham antroposentrisme dalam
pengelolaan lingkungan. Sebab antroposentrisme sejatinya identik dengan mental
orang-orang paganis. Dan benih-benih antroposentrisme justru lahir dari
orang-orang paganistis. Sebab dalam paham ini manusia meyakini hanya manusia
lah yang paling berkuasa. Tidak ada kekuatan kecuali kekuatan manusia.
Akibatnya timbul sikap manusia yang meremehkan dan merendahkan makhluk lain.
Hal tersebut telah di kecam oleh al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat
6-12. Dalam ayat tersebut mengisyaratkan korelasi kuat antara paganis,
antroposentis dan kerusakan lingkungan. Indikator orang-orang pagan adalah
keras kepala, keras hati, penuh kamuflase dan angkuh dalam pengelolaan
lingkungan. Mereka selalu berdalih membangun bumi, padahal sejatinya mereka
merusak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerusakan alam yang parah saat
ini akarnya bukan pada antroposentrisme Islam (theogenik), namun pada pola
tingkah manusia yang kelewat batas (antrogenik).
Dari Kesadaran Religius
ke Tanggung Jawab Alam
Hubungan manusia sebagaimana hamba Allah dan diutus menjadi
Khalifah di muka bumi memiliki posisi saling terkait kuat, karena dalam tugas
manusia sebagai khalifah memiliki wewenang mengelola dan mengatur bumi beserta
isinya. Sedangkan tugas manusia sebagai hamba, manusia melakukan segala
aktivitas sesuai dengan aturan Allah dan bertanggungjawab atas semua
tindakannya. Munculnya teori Darwin tentang survival of the fiftest telah
menempatkan manusia sebagai makhluk yang lebih unggul dari makhluk lainnya,
sehingga manusia berusaha menguasai alam dan mampu menklukan alam. Hal
tersebutlah menyebabkan terjadinya kerusakan alam di berbagai belahan bumi.
Dampak dari teori Darwin semakin menunjukkan bahwa manusia tidak lagi menjadi
makhluk yang bergantung kepada alam, melainkan manusia menjadi faktor penentu
atas keberlangsungan alam. Islam telah melarang manusia untuk melakukan
eksploitasi dan pengerusakan terhadap alam dan spesies tumbuhan serta hewan.
Seperti halnya dalam surat Al-A’raf [7] 31. Makna dalam kandungan ayat
tersebut menyatakan bahwa islam telah mengatur manusia dalam mengelola dan
memanfaatkan alam dengan porsi dan batasan agar tidak merusak alam, tidak boros
(mubazir), tidak serakah dan tidak menyia-nyiakannya yang tidak diperlukan.
Pemikiran Agama Islam dalam beberapa prinsip dasar yang terkait lingkungan dan
menjadi basis elaborasi konsep ekologis dalam islam. Pandangan manusia sebagai
khalifah tidaklah menjadikan manusia sebagai pemegang mutlak pada dirinya dan
alam, karena segala sesuatu yang dimiliki manusia berasal dari Tuhan, dan tugas
manusia hanyalah menjaga dan memelihara serta menggunakan sesuai kebutuhannya.
Konsep khalifah sebagai yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa dalam
ajaran islam memiliki relevansi dan perhatian yang sangat besar terhadap konsep
ekologis dan lingkungan hidup. Sehingga untuk itu, ajaran islam mengenai konsep
ekologis dan lingkungan hidup perlu dikonstruksi sebagai sistem, keyakinan akan
nilai-nilai dan cita-cita lingkungan hidup, yang dapat dipahami, ditransformasikan
dan di internalisasikan oleh seluruh umat untuk diperjuangan guna mewujudkan
cita cita tersebut. Dari uraian dan analisis di atas dapat diambil kesimpulan
pada tulisan ini bahwa antroposentrisme sejatinya lahir bukan dari agama Islam.
Pandangan antroposentrisme muncul disebabkan metode penafsiran yang parsial dan
atomistik. Islam memandang manusia dengan lingkungan alam bersifat simbiosa
mutual dan manusia secara fungsional merupakan makhluk pembangun (khalifah)
yang amanah dan ber-ihsan.
Sumber:
Syakur, M.
Perspektif Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu
Pertanian, Vol. 4. No. 1, hlm 44-56, 2008.
Soemarwoto,
Otto. 1987. Ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan. Jakarta: Djambatan.
Madjid,
Nurcholish. 2009.Cita-Cita Politik Islam. Jakarta: Paramadina & Dian
Rakyat. Masrokhin. Konsep Ekologi Islam Seyyed Hossein Nasr (Studi Kitab
Al-Taharah dalam Kajian Fiqih), Konsep Ekologi Islam, Jurnal Irtifaq, Vol. 1,
No 1, 2014.
Hafsin, Abu.
2007. Islam dan Humanisme: Akulturasi Humanisme Islam di Tengah Krisis
Humanisme Universal. Yogyakarta: IAIN Walisongo dengan Pustaka Pelajar.
Nasr, Sayyed Hossein,
Audrey R. Peterson Chapman, (eds), Consumption, Population and Sustainability:
Perspectives from Science and Religion, Washington DC: Island Press, 2000., New
York: Harper Collins Publisher, Inc., 2002.
Al-Quran
Terjemahan dan Tafsir untuk Wanita, Bandung: Raudlatul Jannah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Arnold_Joseph_Toynbee
Komentar
Posting Komentar